Kasus BLBI (Rp 138 triliun)
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan kasus korupsi yang terjadi saat krisis moneter 1997. Kala itu, puluhan bank kolaps akibat lonjakan utang dan kurs rupiah terhadap dollar AS ambruk.
Dilansir dari Kompas TV (1/4/2024), Bank Indonesia (BI) memberikan suntikan dana sebesar Rp 147,7 triliun ke 48 bank agar tidak kolaps.
Namun, dana itu tidak dikembalikan. Hasil audit BPK pada Agustus 2000 menyatakan negara rugi Rp 138,44 triliun akibat kasus tersebut.
Pada 2007, Kejagung membentuk tim khusus penanganan BLBI. Namun, penyelidikan perkara yang salah satunya melibatkan Sjamsul Nursalim ini dihentikan pada 2008.
Baca juga: Tapera dan Kekhawatiran Akan Korupsi Asabri-Jiwasraya Jilid 2
Kejagung mengakui kerugian negara, tapi tidak menganggap adanya tindakan melawan hukum.
Selanjutnya, Satuan Tugas (Satgas) BLBI dibentuk pada 2021 untuk menagih dana negara sebesar Rp 110,4 triliun.
Dana lain telah dibayar oleh para kreditor. Sayangnya, tidak ada kejelasan mengenai keberhasilan Satgas BLBI menagih semua kerugian negara.
Kasus mega korupsi ini menyeret nama eks-Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin A Tumenggung.
Baca juga: Surya Darmadi, Harun Masiku, dan Belasan Koruptor Lain yang Masih Berkeliaran Bebas
Korupsi Izin Tambang Kotawaringin Timur
Kasus korupsi mantan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi juga membuat negara merugi dalam jumlah besar, yakni Rp 5,8 triliun dan 711.000 dollar AS.
Supian diduga menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin usaha pertambangan kepada tiga perusahaan. Ketiganya adalah PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia dan PT Aries Iron Mining.
Masing-masing perizinan itu diberikan pada 2010 hingga 2012.
Kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang terjadi pada 2004 silam juga membuat negara mengalami kerugian dalam jumlah besar, yakni mencapai Rp 4,58 triliun.
Baca juga: Mahfud Sebut Kemungkinan Masa Kerja Satgas BLBI Akan Diperpanjang
Kasus Korupsi berhasil diungkap oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa kasus besar yang sangat banyak merugikan Negara ini sangat memecahkan rekor dengan nilai yang fantastis. Kira-kira kasus apa saja ya ? yuk simak artikel ini
Mantan Presiden kedua kita yaitu Soeharto telah melakukan tindak pidana korupsi terbesar dalam sejarah dunia. Perkiraan harta Negara yang telah dicuri oleh Soeharto sekitar 15 hingga 35 miliar dollar AS atau sekitar Rp.490 triliun.
Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI) menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang ada di Indonesia. BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang mengalami masalah pembayaran kewajiban saat menghadapi krisis moneter 1998. Bank yang telah mengembalikan bantuan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL), namun belakangan diketahui SKL itu diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan. Menurut keterangan dari KPK kerugian negara akibat kasus megakorupsi ini mencapai Rp 3,7 triliun.
Kasus PT Asabri menjadi sorotan meskipun belum diketahui secaa pasti, namun total kerugian Negara diyakini mencapai Rp.10 triliun.
Kasus korupsi yang menjerat PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menjadi sorotan publik . Jiwasraya sebelumnya mengalami gagal bayar polis kepada nasabah terkait investasi Saving Plan sebesar Rp.12,4 triliun. Produk tersebut adalah asuransi jiwa berbalut investasi hasil kerja sama dengan sejumlah bank sebagai agen penjual.dan akibatnya, negara mengalami kerugian lebih dari Rp 13,7 triliun.
Kasus pengadaan E-KTP menjadi kasus korupsi yang paling fenomenal. Kasus ini menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang telah bergulir sejak 2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.
Ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus ini dan hingga kini ada 8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ada empat proyek di PT Pelindo II yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 6 triliun. Empat proyek tersebut di luar proyek pengadaan mobile crane dan quay crane container yang dugaan korupsinya ditangani oleh Bareskrim Polri dan KPK. Kasus ini menyeret nama mantan Dirut PT Pelindo RJ Lino yang telah ditetapkan tersangka sejak 2015 lalu. Dalam kasus ini, Lino juga diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung HDHM dari China dalam pengadaan tiga unit QCC.
KOMPAS.com - Kasus korupsi PT Timah belakangan mendapat sorotan publik lantaran menyeret sejumlah nama pesohor.
Tak tanggung-tanggung, kasus korupsi tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, termasuk dampak kerusakan lingkungan.
Angka ini menempatkannya sebagai kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Termasuk PT Timah, berikut kasus korupsi terbesar di Indonesia.
Baca juga: Update Kasus Korupsi Timah, Eks Dirjen Minerba Tersangka, Kerugian Naik Jadi Rp 300 T
Korupsi proyek BTS 4G (Rp 8 triliun)
Kasus dugaan korupsi proyek base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 dalam program Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) di Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2022 melibatkan eks Menkominfo Johnny Gerard Plate.
Perhitungan BPKP menilai kerugian yang dialami negara dalam kasus ini mencapai lebih dari Rp 8 triliun.
Pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 pada 2011.
Total kerugian negara akibat pengadaan pesawat ini mencapai 609 juta dollar AS atau jika dirupiahkan saat itu senilai Rp 9,37 triliun.
Baca juga: Duduk Perkara Taipan Vietnam Dijatuhi Hukuman Mati gara-gara Korupsi Rp 200 T
Korupsi PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI)
Kasus korupsi dengan nilai kerugian negara terbesar selanjutnya adalah perkara rasuah kondensat yang melibatkan PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Dalam kasus itu negara disebut mengalami kerugian mencapai Rp 2,7 miliar dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 37,8 triliun.
Kasus korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia atau Asabri (Persero) juga tercatat sebagai perkara rasuah dengan nilai kerugian negara yang besar, yakni mencapai Rp 22,7 triliun.
Perkara korupsi itu terjadi karena jajaran manajemen PT Asabri melakukan pengaturan transaksi berupa investasi saham dan reksa dana bersama dengan pihak swasta.
Baca juga: Ramai-ramai Korupsi Dana Pensiun dari Asabri hingga Pelindo
Kasus korupsi lain dengan kerugian besar dan juga melibatkan sektor asuransi adalah perkara PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Dalam kasus itu, Jiwasraya gagal membayar polis kepada nasabah terkait investasi Saving Plan sebesar Rp 12,4 triliun.
Akibat kasus korupsi ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8 triliun.
Baca juga: Kejagung Serahkan Aset Rp 3,1 T ke BUMN Terkait Kasus Korupsi Jiwasraya
Korupsi PT Timah (Rp 300 triliun)
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.
Hingga kini, Kejagung menetapkan 21 tersangka terlibat dugaan korupsi PT Timah. Dua di antaranya adalah eks Dirketur Utama PT Timah Tbk. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Harvey Moeis.
Awalnya, Kejagung menetapkan para tersangka menyebabkan dampak kerugian lingkungan mencapai Rp 271 triliun.
Namun, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait penghitungan kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 300 triliun. Angka ini termasuk kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Baca juga: Kerugian Negara akibat Korupsi Timah Capai Rp 300 T, Ini Rinciannya
Penyerobotan lahan PT Duta Palma Group (Rp 78 triliun)
Perkara ini melibatkan pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi yang diduga menyerobot lahan 37 hektar di Riau.
Dia bekerja sama dengan mantan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008, R Thamsir Rachman.
Dikutip dari Kompas.id (6/2/2023), tindakan itu merugikan negara Rp 4,7 triliun dan 7,8 juta dollar AS (Rp 1,27 triliun).
Kasus ini juga merugikan perekonomian negara sebesar Rp 73,9 triliun.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memvonis 15 tahun penjara untuk Surya Darmadi dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan penjara pada 23 Februari 2023.
Pelaku lainnya, mantan Bupati Indragiri Hulu Raja Thamsir Rachman dihukum sembilan tahun penjara.
Baca juga: Mengenal Jampidsus, Unsur Pemberantas Korupsi Kejagung yang Diduga Dikuntit Densus 88
Jengkel Merasa Tak Dihormati, Megawati: Saya Pernah Jadi Presiden, Lho!
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri merasa kesal karena merasa dirinya tak dihormati.
Padahal, Mega bilang, ia pernah menjabat sebagai pimpinan tertinggi RI. Hal ini Megawati sampaikan saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Relawan Ganjar-Mahfud yang dihadiri pimpinan organ relawan pendukung se-Pulau Jawa di Jakarta International Expo, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2023).
“Saya kan manusia juga. Bayangkan, kok saya kayak enggak dihormati ya. Lho, kenapa? Lho, saya jelek-jelek pernah presiden, lho, dan masih diakui dengan nama Presiden kelima Republik Indonesia, lho!” kata Megawati.
Baca juga: TPN Ganjar-Mahfud Angkat Bicara Usai Megawati Sebut Penguasa Seperti Orba
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Relawan Ganjar-Mahfud yang dihadiri pimpinan organ relawan pendukung se-Pulau Jawa di Jakarta International Expo, Senin (27/11/2023).
Megawati mengaku jengkel melihat pemerintahan saat ini yang, menurut dia, bertindak seperti era Orde Baru.
Padahal, katanya, butuh pengorbanan besar untuk membangun Indonesia.
“Mestinya Ibu enggak boleh ngomong gitu, tapi udah jengkel. Kenapa? Republik ini penuh dengan pengorbanan tahu tidak. Kenapa sekarang kalian yang pada penguasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?” ucap Megawati disambut riuh tepuk tangan dan sorak sorai relawan.
PT Asabri (Rp 22,7 triliun)
Kasus korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia atau Asabri (Persero) tercatat menyebabkan nilai kerugian negara mencapai Rp 22,7 triliun.
Perkara ini terjadi akibat PT Asabri melakukan pengaturan transaksi investasi saham dan reksa dana bersama dengan pihak swasta. Sebanyak tujuh orang divonis bersalah dalam kasus ini.